Suami Tidak Shalat
KHUSYUK SAAT MENUNAIKAN SHALAT
Oleh
Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Wa Ba’du:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ١ الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلٰو تِهِمْ خَاشِعُوْنَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya”. [Al-Mu’minun/23: 1-2]
Setelah Allah menyebutkan sebagian sifat-sifat mereka, kamudian Dia menyebutkan balasan mereka:
اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوَارِثُوْنَ ۙ١٠الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. [Al-Mu’minun/23: 10-11]
Al-Hasanul Bashri rahimhullah berkata tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
(الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ) (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya”.
Beliau rahimahullah berkata : Mereka khusyu’ di dalam hati mereka, maka mereka menundukkan pandangan mereka dan bersikap merendah.[1]
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata : Allah menggantungkan kemenangan orang-orang yang shalat dengan kekhusyu’an mereka dalam menjalankan ibadah shalat, maka hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak khusyu’ dalam menjalankan ibadah shalat maka dia tidak termasuk orang yang beruntung dan seandainya dia mengharapkan pahalanya niscaya dirinya teramsuk orang-orang yang beruntung”.[2]
Makna khusyu’ adalah ketundukan, kelembutan dan ketenangan hati. Dan apabila hati merasakan kekhusyu’an tersebut maka anggota badanpun mengikutinya. Sebab angaota badan ini mengikuti perintah hati.
عنِ النُّعمان بن بشير رضِيَ الله عنه؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ألا وإنَّ في الجسَد مُضْغةً، إذا صَلَحَتْ صَلَح الجسَدُ كلُّه، وإذا فسَدَتْ فسَدَ الجسَدُ كله، ألا وهي القلب
Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ketahuilah sesungguhnya di dalam badan ini terdapat segumpal daging yang apabila dia baik maka baiklah seluruh jasad dan apabila rusak maka rusaklah seluruh bagaian jasad, ketahuilah bahwa itulah hati”.[3]
Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan dalam shalat beliau :
خَشَعَ لَكَ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ وَمُخِّيْ وَعَظْمِيْ وَعَصَبِيْ
Menunduk kepada-Mu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, sarafku.[4]
عن عوف بن مالك رضي الله عنه قال: “بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذاتَ يوم، فَنَظَر في السماء، ثم قال: ((هذا أوانُ العِلْم أن يُرْفَع))، فقال له رجلٌ مِن الأنصار، يُقال له: زياد بن لبيد: “أيُرْفَع العِلْمُ يا رسول الله، وفينا كتابُ اللهِ، وقد عَلَّمْناه أبناءَنا ونساءَنا؟!”، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إنْ كنتُ لأظنُّك مِن أفقهِ أهلِ المدينة))، ثم ذَكر ضلالةَ أهلِ الكتابيْن وعندهما ما عندهما مِن كتاب الله عز وجل، فلقِيَ جُبيرُ بنُ نُفيرٍ شدَّادَ بْنَ أَوْسٍ بِالمُصَلَّى، فَحَدَّثَهُ هذا الحديثَ عن عوف بن مالك، قال: صَدَقَ عوفٌ، ثم قال: “فهل تدري ما رَفْعُ العِلْم؟”، قال: قلتُ: لا أدري، قال: ذَهاب أَوْعِيَتِهِ، قال: وهل تدري أيُّ العِلْم أوَّلُ أن يُرْفَع؟ قال : فقلتُ: لا أدري، قال: الخشوع، حتى لا تكاد ترى خاشعًا
Dari Auf bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : Pada saat kami duduk-duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari kemudian beliau memandang ke langit dan bersabda : Inilah waktu diangkatnya ilmu”, lalu seorang dari kaum Anshor bernama : Ziad bin Labid berkata kepadanya : Apakah ilmu itu akan terangkat padahal kami di tengah-tengah kita ada Al Qur’an dan kami telah mengajarkannya kepada anak-anak kita dan istri-istri kita wahai Rasulullah?. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku memperkirakan engkau sebagai penduduk kota Madinah yang paling paham terhadap agama”. Kemudian beliau menyebut kesesatan dua ahli kitab padahal mereka memiliki kitab Allah Azza wa Jalla. Lalu Jubair bin Nufair bertemu dengan Syaddad bin Aus di mushalla lalu memberitahukan hadits ini dari riwayat Auf bin Malik, lalu dia berkata: Sungguh Auf benar-benar jujur”. Kemudian dia bertanya kembali: Apakah engkau mengetahui bagaimanakah ilmu itu terangkat?: Dia menjawab: Aku tidak mengetahui. Dia menjawab : yaitu dengan kepergian wadah-wadahnya. Lalu bertanya kemballi apakah engkau mengetahui ilmu apakah yang paling pertama terangkat?. Dia melanjutkan: Berkata: Aku tidak mengetahui. Dia menjawab: Kekhusyu’an, sehingga hampir saja engkau tidak melihat seorangpun yang khusyu’”.[5]
Apabila seseorang yang menjalankan shalat memasuki mesjid maka mulailah bisikan-bisikan, pikiran-pikiran dan kesibukan dengan perkara dunia merasuki akal fikirannya dan dia tidak menyadari dirinya dalam beribadah kecuali setelah imam selesai dengan shalatnya, maka pada saat itulah dia merugi dengan shalatnya yang tidak dikerjakan secara khusyu’ dan tidak pula merasakan manisnya beribadah, dia hanya gerakan-gerakan yang komat-kamit mulut sama seperti jasad yang hampa dari ruh.
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: Shalat tanpa kekhusyu’an dan kehadiran hati sama dengan jasad yang mati tanpa ruh, apakah seorang hamba tidak malu jika dia menghadiahkan kepada orang lain sosok tubuh yang telah membangkai atau seorang budak wanita yang telah mati? Aku tidak mengira bahwa hadiah ini akan memberikan nilai penghargaan bagi hamba dari orang yang ditujunya baik raja atau gubernur atau yang setingkat dengannya. Seperti inilah shalat yang hampa dari rasa khusyu’ dan kehadiran hati serta semangat pengabdian kepada Allah, sama seperti hamba atau budak wanita yang mati yang akan dipersembahkan kepada raja, maka Allah pasti tidak menerimanya sekalipun perbuatan itu menggugurkan kewajiban hukum duniwai, dan Allah tidak akan memberikan pahala dengannya, sebab sesungguhnya seorang hamba tidak akan mendapatkan pahala dari shalatnya kecuali ibadah yang dikerjakan secara khusyu’.[6]
Sebagian mereka berkata : Sesungguhnya dua orang lelaki berada dalam suatu shalat namun keduanya berada dalam perbedaan yang sangat jauh sama seperti jauhnya langit dan bumi”.[7]
عن عمَّار بن ياسر رَضِيَ الله عنه؛ أنَّ النبي صَلَّى الله عليه وسلم قال: ((وإنَّ الرجُل لَينصَرف وما كُتِبَ له إلا عُشْرُ صلاتِه، تُسعُها، ثُمنُها، سُبعُها، سُدسُها، خُمسُها، رُبعُها، ثُلثُها، نِصفُها
Dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Bahwa sungguh seseorang selesai menunaikan shalatnya namun dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya itu kecuali sepersepuluhnya, atau sepersembilannya, atau seperdelapannya, atau sepertujuhnya, atau seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya”.[8]
Kekhusyu’an dalam shalat akan terjadi pada orang yang mengkhususkan hatinya untuk shalat tersebut, hatinya tertuju kepadanya bukan kepada yang lain dia lebih mengutamakannya atas urusan yang lain, pada saat seperti itulah shalat menjadi penyejuk mata.
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حُبِّبَ إليَّ من دُنْياكمُ النِّساءُ والطِّيبُ وجُعِلَت قُرَّةُ عَيني في الصَّلاةِ
Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi dan ketentraman ada pada shalatku.[9]
Bahkan jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditimpa kesusahan oleh sautu perkara maka beliau mendirikan shalat dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قُمْ يا بلال، فَأَرِحْنا بِالصلاة
Bangkitlah wahai Bilal dan tenangkanlah kita dengan shalat”.[10]
Di antara kiat-kiat agar seseorang khusyu’ dalam shalatnya adalah:
Pertama : Sesorang muslim harus menghadirkan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat shalatnya tersebut, dia berdiri di hadapan Penakluk langit dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا قَدَرُوا اللّٰهَ حَقَّ قَدْرِهٖۖ وَالْاَرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَالسَّمٰوٰتُ مَطْوِيّٰتٌۢ بِيَمِيْنِهٖ ۗسُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. [Az-Zumar/39: 67]
Kedua : Seorang muslim harus melihat ke arah tempat sujudnya dan tidak menoleh kearah manapun saat shalatnya.
Dari Abi Dzar Radhiyallahu anhu bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يَزَالُ اللهُ مُقْبِلاً عَلَى الْعَبْدِ في صَلاتِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ، فَإِذَا صَرَفَ وَجْهَهُ انْصَرَفَ عَنْهُ
Allah senantiasa menghadap kepada hambaNya pada saat dirinya mendirikan shalat selama dia tidak menoleh, maka apabila dia memalingkan wajahnya maka Allah-pun berpaling darinya.[11]
Ketiga : Mentadabburi Al-Qur’an dan zikir-zikir yang dibacanya saat shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci? [Muhammad/47: 24]
Apabila seorang muslim mentadabburi zikir-zikir pada saat dia ruku’, sujud dan yang lainnya maka hal itu akan lebih berpengaruh bagi hati dan lebih cepat mendatangkan kekhusyu’an.
Keempat : Mengingat kematian saat shalat.
عن أبي أيوب رضي الله عنه؛ أنَّ النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا قُمْتَ في صلاتكَ، فصلِّ صلاةَ مُوَدِّع
Dari Abi Ayyub Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Apabila engkau mendirikan shalat maka maka shalatlah seperti shalatnya orang yang akan berpisah.[12]
Kelima : Hendaklah seorang muslim mempersiapkan dirinya untuk shalat, jangan sampai dia shalat dalam keadaan menahan sakit perut atau menahan kencing atau shalat di hadapan makanan yang terhidang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا صلاةَ بحضْرَةِ الطَّعامِ، ولا وهو يُدافعُه الأَخْبَثَانِ
Tidak boleh shalat di hadapan makanan dan tidak pula boleh shalat saat dia menahan dua hal yang buruk (menahan kencing dan buang air besar).[13]
Dan hendaklah pula dia menghilangkan segala sesuatu yang bisa menyebabkan dirinya lalai dari shalatnya seperti hiasan-hiasan, gambar-gambar dan yang sepertinya.
عن عائشة رضي الله عنها قالت: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي في خَمِيصَةٍ ذاتِ أعلامٍ، فنظر إلى عَلَمِها، فلما قَضَى صلاته قال: اذهَبوا بهذه الخميصة إلى أبي جَهْمِ بنِ حذيفةَ، وائتوني بأَنْبِجَانِيِّه؛ فإنها أَلْهَتْنِي آنفًا في صَلاتي
Dari Aisyah Radhiyallahu anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengenakan pakian jenis khomishah yang memiliki garis-garis lalu saat shalat beliau melirik kepada garis-garis yang ada padanya maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Kembalikanlah kain khomisah ini kepada Abi Jahm bin Hudzaifah dan berikanlah kepadaku kain jenis anbijani sesungguhnya dia tadi telah melalaikanku dalam sholatku”.[14]
Keenam: Berusaha mengarahkan jiwa agar dia bisa khusyu’ dalam sholat. Khusyu’ bukan perkara yang mudah maka seseorang mesti harus bersabar dan berusaha. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. [Al-Ankabut/29: 69]
Usaha yang terus menerus dan kesungguh-sungguhan akan mempermudah orang mendapatkan kekhusyu’an.
Ketujuh: Menghadirkan di dalam jiwa pahala yang akan didapatkan oleh orang yang khusyu’ di dalam shalat.
عن عثمان رضي الله عنه؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ما مِن امرئٍ مسلم تَحْضُره صلاةٌ مكتوبة، فيُحسِن وضوءها، وخشوعَها، وركوعَها، إلا كانتْ كفَّارةً لما قبْلها منَ الذنوب، ما لم يُؤت كبيرة، وذلك الدهرَ كلَّه
Dari Utsman Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah seorang muslim yang di datangi oleh shalat yang wajib, kemudian dia baik dalam melaksanakan wudhu’, menhadirkan kekhusyu’an dan ruku’ maka dia akan menjadi penghapus bagi dosa-dosa yang telah dikerjakan sebelumnya, selama dia tidak pernah berbuat dosa-dosa besar dan hal itu terjadi selama sepanjang masa.[15]
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak khusyu’nya di dalam shalat.
قال عبد الله بن الشِّخِّير: رأيتُ النبي صلى الله عليه وسلم يُصلِّي، وفي صدره أزيزٌ كأزيز الرَّحَى مِن البُكاء
Abdullah bin Al-Syikkhir berkata: Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat dan di dalam dada beliau terdengar isak tangis seperti suara gesekan penggiling tepung karena menangis”.[16]
Dan Abu Bakar Radhiyallahu anhu adalah seorang lelaki yang banyak menangis dikala shalat[17] sehingga dia tidak bisa memperdengarkan suara bacaannya pada saat shalat mengimami orang. Dan Umar Radhiyallahu anhu, pada saat dia mengimami orang dalam shalatnya dan membaca surat Yusuf maka isak tangisnya terdengar sampai pada akhir shaf dan dia membaca:
وَتَوَلّٰى عَنْهُمْ وَقَالَ يٰٓاَسَفٰى عَلٰى يُوْسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنٰهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيْمٌ
Dan Yakub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). [Yusuf/12: 84].[18]
Ibnul Qoyyim rahimhullah berkata : Manusia di dalam masalah shalat terbagi menjadi beberapa tingkatan:
Pertama: Tingkatan orang yang zalim terhadap dirinya sendiri dan lalai dengan shalatnya. Dialah orang yang shalat dengan wudhu’ yang tidak sempurna, shalat tidak pada waktunya, batas-batasnya dan tidak menyempurnakan rukun-rukunnya.
Kedua: Orang yang semata-mata menjaga waktu, batas-batas shalat dan rukun-rukunnya yang lahiriyah dan menjaga waudhu’. Namun dia tidak berusaha melawan bisikan-bisikan maka dia terhanyut dalam bisikan-bisikan dan pikiran-pikirannya di dalam shalat.
Ketiga: Barangsiapa yang menjaga batas-batas shalat dan rukun-rukunnya, dan bersungguh-sungguh mengarahkannya jiwanya dalam melawan bisikan-bisikan dan fikiran-fikiran yang menggoda di dalam shalatnya, maka dengan hal tersebut sesungguhnya dia telah menyibukkan dirinya dalam menghadapi musuhnya agar musuhnya itu tidak mencuri shalatnya, maka dengan seperti ini dia berada dalam sholat dan jihad.
Keempat:Orang yang apabila bangkit menunaikan shalat maka dia menyempurnakan hak-hak, rukun-rukun dan aturan-atauran shalat, hatinya dikerahkan untuk menjaga tuntutan-tuntutan shalat, agar dia tidak menyia-nyiakan sedikitpun dari ibadah shalatnya, bahkan seluruh potensi dan semangatanya tercurah untuk menyempurnakan penegakan shalat sebagaimana mestinya, maka dengan ini sungguh hatinya telah terarah pada perkara shalat dan ubudiyahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kelima: Orang yang bangkit menegakkan shalat dengan cara seperti di atas, bersamaan dengan itu dia hatinya tertumpah di hadapan Allah Azza wa Jalla, dia melihat Allah dan menyadari akan pengawasan Allah, hatinya cinta kepadaNya dan mengagungkanNya sekan dia melihat Allah, semua bisikan dan lintasan-lintasan pikirante telah terhapus, telah terangkat dinding antara dirinya dan TuhanNya, maka orang yang seperti ini di dalam perkara shalat lebih utama dan lebih agung dari pada jarak yang memisahkan langit dan bumi, orang yang seperti ini sedang sibuk dengan bermunajat kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala di dalam shalatnya.
Golongan pertama akan disiksa, golongan kedua akan dihisab, golongan ke tiga menghapuskan keajiban, golongan keempat diberi pahala, dan golongan ke lima mendekat kepada Tuhannya, sebab dia termsuk golongan orang yang menjadikan shalat sebagai perlipur lara bagi hatinya, maka barangsiapa yang hatinya senang dengan shalatnya di dunia maka dia akan senang dengan kedekatannya kepada Allah pada hari kiamat kelak, dan dia juga akan senang di dunia, dan barangsiapa yang hatinya senang dengan Allah maka setiap mata akan senang dengannya namun barangsiapa yang hatinya tidak senang dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka jiwanya akan tercerai berai atas dunia ini dengan berbagai kerugian”.[19]
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad dan kepada seluruh keluarga dan shahabatnya.
[Disalin dari الخشوع في الصلاة Penulis Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Penerjemah Muzaffar Sahidu, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]
______
Footnote
[1] Tafsir Ibnu Katsir: 3/238
[2] Madarijus salikin: 1/526
[3] Shahih Bukhari: 1/234 nno: 52 dan shahih Muslim: 3/1220 no: 1599
[4] Bagian dari hadits di dalam shahih Muslim: 1/53 no: 771
[5] Musnad Imam Ahmad: 6/26-27
[6] Al-Wabilus Shayyib minal kalimit tahayyib: halaman: 11
[7] Madrijus salikin: 1/567
[8] Sunan Abi Dawud: 1/211 no: 796
[9] Sunan Al-Nasa’i: 7/61 no: 3939
[10] Sunan Abu Dawud: 4/297 no: 4986
[11] Musnad Imam Ahmad: 5/172
[12] Bagian dari hadits di dalam Musnad Imam Ahmad: 5/412
[13] Shahih Muslim: 1/393 no: 560
[14] Shahih Bukhari: 1/141 no: 373 dan shahih Muslim: 1/391 no: 556
[15] Shahih Muslim: 1/206 no: 228
[16] Sunan Abu Dawud: 1/238 no: 716
[17] Shahih Bukhari: 1/236 no: 716
[18] Shahih Bukhari: 1/236
[19] AL-Wabilus Shayyib mnial kalimit thayyib, halaman: 34-35
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/51403-khusyuk-saat-menunaikan-shalat.html